Menanti Desember
Rezky Yulia Ekaputri
Puisi itu kembali terlantun dari bibir mungil Vera. Sudah hampir 3 tahun Vera
melantunkannya sambil duduk di dekat jendela kamarnya dan menatap rembulan yang
tiada henti menyinari malamnya. Itu seolah telah menjadi kegiatan rutinnya
sebelum tidur.
“Vera, kamu belum
tidur nak?” tegur
Mama Vera yang tiba-tiba saja telah berdiri di belakangnya.
“Belum Ma,” jawab Vera singkat.
“Terus, ngapain kamu duduk di situ? Nanti kamu masuk
angin.”
“Aku cuma liat bulan kok Ma. Liat deh,
bulannya cantik banget!!!
Kayak Mama. Rasanya, aku ingin terus melihat bulan itu. Selamanya” Ujar Vera sambil
tersenyum dan memeluk Mamanya. Mama Vera pun membalasnya dengan pelukan yang
hangat. Dan tanpa dia sadari, dia meneteskan air mata.
“Ma, Mama kok nangis?” Tanya Vera saat air
mata Mamanya menetes tepat di jemari tangannya.
“Nggak apa-apa sayang. Sekarang kamu tidur
yah…!” ujar Mamanya sambil menyeka air matanya dan menuntun Vera ke
pembaringannya.
“Selamat malam Ma.” Ujar Vera sambil tersenyum.
“Selamat malam sayang” balas Mama Vera sambil mencium kening putri
semata wayangnya.
Keesokan harinya, Vera kembali beraktivitas seperti biasanya.
Bangun pagi-pagi, shalat, mandi, berpakaian rapi, sarapan, kemudian ke sekolah.
“Ma, aku berangkat dulu yach” pamit Vera.
“Iya nak. Hati-hati di jalan.”
“Ok Ma. Assalamu alai’kum.”
“Wa’alaikum salam.”
Sesampainya di sekolah, Vera disambut dengan happy oleh sahabat-sahabatnya.
“Pagi guys” sapa Vera.
“Pagi nona Vera” balas sahabat-sahabatnya serempak.
“Happy banget non, sampe senyum-senyum sendiri, baru dapat lotre yah?” canda Citra.
“Hehehe .. nggak kok. Pagi hari itu harus
disambut dengan senyuman. Agar hari yang kita lalui terus dipenuhi oleh senyum
dan kebahagian. Juga dapat menghapus segala luka dan duka yang terselip
di dalam hati. Sehingga kecerian kembali meliputi perasaan kita. Dan, nggak ada
gunanya juga terus bernestapa meratapi kesedihan yang berlalu maka, tetaplah kau tersenyum agar
semua dukamu berangsur hilang dan berganti menjadi kecerian.” ujar Vera sambil
tersenyum manis yang membuatnya kelihatan lebih cantik.
“Iyah Bu guru” balas Citra.
“Ya ya ya. Beginilah susahnya
berbicara dengan sang pujangga. Setia ucapan kita pasti dibalas dengan kata-kata yang puitis.” Timpal Karin.
“Hehehee .. kalian ada-ada aja.”
Tak berapa lama mereka mengobrol, bel pun berbunyi. Mereka segera
duduk di bangku masing-masing sambil menunggu guru mata pelajaran pertama hari
itu.
“Selamat pagi anak-anak.” sapa Pak Syarif guru bahasa Indonesia
sekaligus wali kelas mereka yang baru saja tiba di kelas.
“Pagi Pak” jawab anak-anak dengan serempak.
“Baiklah, sebelum kita memulai pelajaran hari ini, saya akan
memberitahukan sebuah informasi mengenai ulangan semester genap.” Ujar Pak
Syarif. “Kemungkinan, ulangan akan dilaksanakan pada pertengahan bulan Desember
nanti kira-kira tanggal 12-17. Jadi, saya harap kalian bisa belajar dengan
sungguh-sungguh dan saya tidak mau ada siswa atau siswi dari kelas ini yang
tinggal kelas. Kalian mengerti?” tegas Pak Syarif.
“Mengerti Pak”
“Desember…” desis Vera lirih.
“Kenapa Ver? Kok kamu kelihatan tegang gitu? Biasanya kamu yang paling
semangat kalau mau ulangan?” Tanya Karin.
“Nggak kok. Oiaya, kita harus ngebentuk kelompok belajar bersama
agar kegiatan belajar kita bisa efektif dan nggak cuma di sekolah.” Jawab Vera
sambil berusaha tersenyum.
“Aku setuju” ujar Citra diikuti anggukan setuju pula dari Karin.
“Tapi, nggak seru kalau cuma kita bertiga. Gimana kalau kita ajak
Nia dan Dhea?” usul Karin.
“Terserah kalian aja dech” ujar Vera.
Mereka kemudian mengikuti pelajaran hari itu dengan serius. Dan
sepulang sekolah, Vera, Citra, dan Karin mengutarakan niat mereka untuk
mengajak Nia dan Dhea bergabung dalam kelompok belajar mereka. Dan ajakan
tersebut disambut dengan riang oleh mereka.
“Ver, kita belajarnya di rumah kamu aja yah.
Rumah kamu kan luas, jadi pasti bisa nampung kita.” Usul Nia.
“Iya. Lagipula, di rumah juga nggak ada siapa-siapa kok. Cuma ada
aku dan Mama. Siapa tahu, dengan kehadiran kalian, rumahku bisa jadi rame. Yah,
ibarat kata hadirnya dirimu kan berikan suasana baru dalam hariku” Jawab
Vera sambil tersenyum.
“Ok. Sekarang kita tinggal ngatur jadwalnya aja.” Kata Dhea.
“Aku nggak bisa hari senin dan rabu. Soalnya ada kursus bahasa
inggris.” Ujar Citra.
“Aku juga nggak bisa kalau hari rabu. Aku kan lagi kursus
Matematika.” Timpal Karin.
“Kalau aku sich belakangan ini, lagi nggak ada kegiatan. So, hari
apa aja bisa.” Nia ikut angkat bicara.
“Kalau kamu Dhe?” Tanya Vera sambil melihat ke arah Dhea.
“Aku sama kok kayak Nia. Kapan aja bisa.”
“Mmmh, berhubung hari jum’at aku kursus
bahasa inggris dan setiap senin aku ngajar anak-anak ngaji, jadi jadwal bisa
hari selasa, kamis, dan sabtu. Gimana?” Vera memberi usul.
“Ok dech…” jawab yang lainnya serempak.
Setelah selesai mengatur jadwal yang ditetapkan, mereka kemudian
pulang ke rumah masing-masing. Kebetulan hari itu, Vera nggak bawa motor, jadi
dia nebeng sama Karin.
“Vera, kamu kenapa nak? Kamu kelihatan
pucat.” Tegur Mamanya ketika Vera baru pulang dan berjalan menuju kamar sambil
memegang kepalanya.
“Nggak apa-apa kok Ma. Aku Cuma sedikit pusing. Mungkin karena
cuaca yang sangat panas.” Jawab Vera sambil berusaha tersenyum karena, dia tak
ingin membuat Mamanya merasa cemas.
“Kamu sudah makan obat?”
“Udah tadi di sekolah. Mama nggak usah khawatir yah. Aku baik-baik aja kok. Aku cuma kurang istirahat. Di sekolah
juga lagi banyak tugas.”
“Ya sudah. Sekarang kamu makan yah nak.! Setelah itu kamu tidur.
Biar perasaan kamu bisa lebih enakan.”
“Iyah Ma.”
Vera kemudian mengganti seragam sekolahnya kemudian makan siang
bareng Mamanya. Selepas makan, Vera lalu memberitahu Mamanya tentang
kelompok belajar yang baru dia bentuk. Dan Mamanya pun setuju
dengan keinginan Vera yang mengajak temannya belajar di rumah mereka.
***
Ujian semester kurang lebih 1 minggu lagi.
Vera dan kawan-kawannya sudah siap dengan matang untuk menghadapi ujian nanti.
Namun, teman-teman Vera merasa heran karena sudah satu minggu lebih Vera tidak
masuk sekolah. Menurut surat yang disampaikan kepada guru, Vera sedang sakit.
Tapi, mereka tak tahu Vera sakit apa. Karena selama ini Vera kelihatan
baik-baik saja. Kalau pun sakit, paling cuma dua atau tiga hari saja. Itu pun
hanya sakit ringan.
“Vera sakit apa yah…? Nggak biasanya dia sakit sampai berhari-hari
kayak sekarang.” Ujar Citra.
“Iya nich. Padahal semester bakal dilaksanakan minggu depan.”
Tambah Dhea.
“Gimana kalau kita ngejenguk Vera aja. Udah lama juga kita nggak
kumpul-kumpul bareng.” Usul Nia.
“Iya nih. Aku juga kangen ama kata-kata puitis anak itu.” Ujar
Karin sambil nyengir.
“So, kita go-nya kapan…” Tanya
Dhea.
“Ntar aja. Pas pulang
sekolah. Hari ini kan hari sabtu, jadi kita pulangnya cepet.” Nia kembali
memberi usul.
“Ya deh.” Semuanya setuju.
Sepulang sekolah, mereka semua kemudian ke rumah Vera. Berharap
bisa bercanda ria kembali dengan sahabat mereka.
“Assalamu alaikum” seru mereka serempak ketika sampai di depan
rumah Vera. Namun, tak ada jawaban. Mereka kemudian kembali memberi salam. Dan
tak berapa kemudian, Mama Vera datang sambil menyeka air mata yang berlinang di
pipinya.
“Wa’alaikum salam” jawabnya dengan terbata.
“Ada apa tante? Tante kok nangis? Vera di mana?” Tanya Citra
dengan perasaan khawaatir. Namun Mama Vera tak menjawab dia hanya terus diam
dalam tangisannya yang membuat Citra, Karin, dan Nia heran campur khawatir.
“Tante tenang dulu yah. Kita ke sini cuma mau ngejenguk Vera kok.”
Nia mencoba menenangkannya.
“Kalau kalian mau ngejenguk Vera, dia ada di kamarnya.” Ujar Mama
Vera dengan terbata dan menuntun keempat gadis belia tersebut ke kamar Vera.
Namun, apa yang Citra, Karin, Nia, dan Dhea liat sungguh membuat mereka kaget.
Vera tengah terbaring tak berdaya di atas kasurnya dengan selang infus yang ada
di pergelangan tangannya.
“Vera kenapa tante? Apa yang terjadi sama dia?” Tanya Citra yang
tak sanggup menahan air matanya saat berdiri tepat di hadapan sahabatnya.
“Sudah 5 hari Vera terbaring koma. Tapi, dia tak mau di rawat di
rumah sakit. Dia bersih keras mau di rawat di rumah. Sebenarnya, selama ini
Vera mengidap penyakit kanker otak. Tapi, dia selalu melarang tante untuk
memberitahukannya ke kalian. Dan dokter memvonisnya hanya bisa bertahan sampai
Desember tahun ini.” Jelas Mama Vera dengan air mata yang bercucuran.
“Astagfirullah hal adzim” desis mereka berempat hampir bersamaan.
“Vera, kenapa kamu nggak pernah bilang ke
kita kalau kamu itu sakit. Kenapa Ver? Kita kan sahabat? Tapi, kenapa kamu
nyembunyiin hal ini dari kami” ujar Karin sambil menangis dan menggenggam
tangan Vera.
“Vera bangun…!!! Kamu
harus kuat. Kita selalu ada buat kamu. Kita semua sayang sama kamu Ver. Kita
nggak mau kehilangan kamu” lanjut Nia. Setelah mendengar kata-kata Nia,
tiba-tiba saja jari tangan Vera bergerak dan Vera perlahan membuka matanya.
“Vera, kamu sadar nak.” Ujar Mamanya sambil
mendekat ke arah Vera.
“Ma Mama” ujar Vera
dengan terbata dan suara yang terdengar parau.
“Iya saying, Mama di sini. Di sini juga ada sahabat-sahabat
kamu. Mereka mau ketemu sama kamu. Katanya kamu harus kuat.” Mama Vera kembali
tak dapat menahan air matanya.
“Guys, maafin aku yah” ujar
Vera lagi.
“Ssssstt, kamu nggak perlu ngomomg apa-apa Ver.
Kita udah tahu. Sekarang kamu yang semangat yah.” Ucap Dhea dalam isak. Vera
yang tak mampu bersuara lagi, hanya bisa memaksa dirinya untuk tersenyum.
Tiba-tiba saja Vera berusaha mengangkat kepalanya dan mengambil sesuatu di
bawah bantalnya. Dan ternyata itu adalah sebuah surat. Vera kemudian
menyerahkan surat tersebut kepada Citra dengan tangan yang bergetar.
“Aku pengen kalian baca surat itu.” Ujar Vera dengan terbata-bata.
“Iya Ver. Kita akan baca surat ini.” Jawab Citra sambil meraih
surat yang disodorkan Vera.
“Ma, temen-temen aku mau tidur dulu yah. Aku capek. Aku mau istirahat dulu. Kalian
jaga diri baik-baik.” Ucap Vera lagi sambil menutup kedua matanya. Mama dan temam-temannya
hanya bisa mengangguk dan menangis mendengar perkataan Vera. Perkataan terakhir
yang keluar dari mulut Vera. Karena beberapa saat setelah itu, Vera telah
menghembuskan nafas terakhirnya dan meninggalkan semua orang yang mengasihinya.
Mama dan sahabat-sahabatnya hanya bisa menangisi jasad Vera yang telah terbujur
kaku. Tak lama setelah itu, Citra pun membuka amplop surat yang diberikan oleh
Vera dan membacanya bersama semua.
Dear My Friend…
Guyz…
Maafin aku yah. Aku nggak bermaksud menyembunyikan tentang
penyakitku ke kalian. Aku cuma nggak mau kalian khawatir dengan keadaanku. Aku
juga nggak mau kalian mengasihani aku. Aku mau kalian menganggap aku sebagai
Vera yang sehat, kuat, dan ceria. Bukan Vera yang sakit-sakitan.
Guyz…
Aku sayang banget ama kalian. Kalian ibarat bumi bagi aku. Aku
nggak akan bisa hidup tanpa kalian. Tawa dan canda kalian selalu bisa membuat
aku tersenyum dan semangat. Mungkin tanpa kalian aku udah lama menyerah. Tapi
aku selalu ingin hidup. Hidup untuk tetap bersama kalian hingga Desember tahun
ini.
Guyz…
Mungkin aku nggak bisa bertahan sampai semester nanti. Tapi aku
mau kalian tetap semangat. Walau tanpa aku, kalian harus bisa dapat nilai yang
maksimal. Dan kalian tahu, aku tuch seneng… banget…! Karena pada penantianku
tahun ini, kalian menemaniku menanti Desember. Hari-hari yang kita lalui
bersama beberapa waktu ini membuat aku merasa hidup ini begitu indah dan
berarti. Rasanya, aku masih ingin menikmati hari-hari bersama kalian. Tapi,
waktu aku nggak banyak. Dan aku harus pergi. Pergi meninggalkan dunia fana ini.
Membawa sejuta kenangan indah yang kita miliki dan takkan pernah kulupa hingga
kelak aku menutup mata.
Guyz…
Tiga tahun aku menanti Desember. Dan Desember tahun ini aku
benar-benar harus pergi. Maaf jika selama ini aku terlalu banyak
mempunyai kesalahan terhadap kalian. Terima kasih untuk semua kenangan indah
yang telah kalian berikan padaku. Makasih dan selamat tinggal.
Much Love
Vera
Setelah membaca surat tersebut, mereka semua lagi-lagi tak dapat membendung air matanya. Mereka terus menangisi
kepergian Vera.
Kini Vera telah tiada. Sang pujangga telah pergi. Pergi dengan
tenang menghadap sang khalik. Penantian Vera telah berakhir. Desember telah
menjemputnya tepat pada tanggal 3 Desember. Saat usianya menginjak 17 tahun.
Vera kini telah tenang di sisi-Nya. Kini dia telah tersenyum dalam tidur
panjangnya. Tak ada yang dapat mencegah kepergian Vera. Bahkan, waktu pun tak
dapat menghentikannya.
Rembulan…
Temani aku malam ini
Aku sedang menanti Desember
Rembulan…
Dalam keremangan malam
Aku ingin kau menyinari hatiku yang redup
Rembulan…
Jangan pernah tinggalkanku
Dan tetaplah menemaniku
Menanti Desember…
Mama Vera menemukan puisi itu di sela buku diary Vera. Puisi yang
setiap malam dilantunkan Vera semasa hidupnya. Kini Vera telah tersenyum di
samping rembulan. Rembulan yang senantiasa memenaninya menanti Desember.